KARYA HERMANN HESSE
Sebuah Kajian Menggunakan Perspektif Teori Strukturalisme
A. Pendahuluan
Wellek dan Austin Warren (1995:159) merekonstruksi pemikiran lama tentang dimensi karya sastra berupa bahan dan struktur karya sastra. Pemikiran ini bersumber dari para peneliti Jerman yang cenderung memperkenalkan istilah “bentuk dalam” (dari teori Plotinus dan Shaftesbury) untuk menyebut “isi” sebuah karya sastra. Namun istilah tersebut justru memperumit batasan antara dalam dan luar karya sastra.
Istilah “bahan” dan “struktur” dalam pemikiran Wellek dan Warren mengabaikan konsep tradisional yang membedakan bentuk dan isi yang mengandung banyak kelemahan di masa lalu. Hal itu dapat dilihat dari bentukan bahasa dalam karya sastra yang terdiri atas kata sebagai tanda, dan cara katak-kata itu disusun untuk membentuk unit bunyi dan makna. Yang pertama—kata sebagai tanda—tidak aktif sebagai penentu estetis, sedangkan yang kedua—cara kata-kata itu disusun—merupakan penentu estetis.
Karena itulah, Wellek dan Austin Warren memandang, bahwa “bahan” merupakan isi dan unsur-unsur yang dulu dianggap sebagai bentuk. “Struktur” mencakup isi dan bentuk sejauh mempunyai fungsi estetis. Dengan demikian, karya sastra dapat dilihat sebagai suatu sistem tanda yang utuh, struktur tanda yang memiliki fungsi dan tujuan estetis tertentu.
Teeuw (1988:121) memfokuskan pemikiran tentang struktur ini pada empat syarat utama, yaitu order, amplitude (complexity), unity dan connection atau coherence. Order merupakan urutan dan aturan yang menunjukkan konsekuensi dan konsistensi yang masuk akal. Amplitude berarti bahwa luasnya ruang lingkup dan kekompleksan karya harus cukup untuk memungkinkan perkembangan peristiwa masuk akal. Unity berarti semua unsur dalam plot harus ada, tidak bisa bertukar tempat tanpa mengacaukan ataupun membinasakan keseluruhannya. Connection atau coherence menunjukkan bahwa sastrawan tidak bertugas untuk menyebut hal-hal yang sungguh-sungguh terjadi, tetapi hal-hal yang mungkin atau harus terjadi.
Struktur karya tersebut tidak dapat dilihat secara parsial dengan membentuk dikotomi-dikotomi pemahaman. Struktur karya sastra harus dipandang secara koheren, sehingga menghasilkan makna dan pemahaman secara utuh pula. Ibarat anatomi tubuh manusia, ketika salah satu anggota tubuh tersebut hilang, tentu orang lain akan mengatakan bahwa tubuh tersebut tidak sempurna. Pemaknaan terhadap tubuh itu juga tidak sempurna.
Berlandaskan ide di atas, karya sastra bukan sesuatu yang remeh dan tidak boleh diremehkan. Karya sastra—termasuk pula novel—diciptakan pengarang melalui sebuah struktur pemikiran yang kompleks, dan dilahirkan dengan bangunan struktur yang kompleks pula. Untuk mendapatkan makna yang utuh isi sebuah karya sastra—novel—seorang apresiator harus memahami struktur karya tersebut secara utuh. Walaupun pemahaman terhadap makna dalam karya sastra pada akhirnya harus berdasarkan logika-logika sastra.
Penulis, bahkan pemikir sastra menyadari betul bahwa karya sastra dibagun berdasarkan bahan dan struktur yang unik. Bahan dan struktur itu berupa fakta-fakta imajinatif yang diserap dari sebuah realitas sosial dan budaya. Hal inilah yang membedakan bahan dan struktur karya sastra dengan bahan dan struktur sejarah. Bangunan sejarah dikonstruksi berdasarkan fakta-fakta sejarah, sedangkan karya sastra diperoleh dari daya bayang pengarangnya.
Ibarat sebuah mutiara, karya sastra akan selalu berkilauan di manapun ia ditempatkan. Di atas, di samping, di bawah, di luar, di dalam atau di mana saja, mutiara ini akan selalu memancarkan pesonanya, dan setiap orang yang menatapnya ingin memilikinya. Mereka memandang mutiara itu indah dilihat dari sudut manapun. Karya sastra juga akan selalu indah dan bermakna ditinjau berdasarkan perspektif apapun. Namun hal yang terpenting, karya sastra memiliki bahan dan struktur yang ajeg yang dapat dibedah berdasarkan bahan dan struktur yang membangunnya. Perspektif apapun yang digunakan apresiator maupun kritikus dalam membedah karya sastra, bangunan awal yang harus ditelisik adalah struktur karya sastra tersebut. Pijakan pertama yang harus diperhatikan dalam menciptakan pemahaman terhadap karya sastra adalah “bahan” dan sttruktur” sebagaimana yang digambarkan Rene Wellek dan Austin Warren, serta Teeuw di bagian awal pembahasan ini.
Novel Siddharta karya Hermann Hesse banyak dikupas dengan meninjau isi yang terkandung di dalamnya. Suradi dengan penuh keyakinan menyebut Hermann Hesse sebagai pengolah tema melalui tahap-tahap proses mrnjadi insan sempurna. Pengarang dengan sempurna menggambarkan kejatuhan dan kebangkitan manusia dalam bentuk novel pendek yang bernas dan cerkas. Bahkan dengan latah, Suradi menyebut tokoh Siddharta dalam novel tersebut sebagai Nabi Zulkifli (http://kalipaksi.com/2007/08/14/buddha-zulkifli , Diakses 11 Februari 2009).
Makna karya di atas diperoleh melalui tahap interpretasi. Disadari atau tidak, pemaknaan tersebut telah memanfaatkan struktur karya sebagai media penafsiran. Simbol-simbol aksi yang melekat pada tokoh merupakan penanda untuk memaknai perilaku, tindakan, dan gagasan tokoh. Hal itu dapat dipahami melalui hubungan penanda dengan apa yang ditandakan, maupun melalui perbedaan antara penanda dengan petanda. Oposisi biner yang terdapat dalam novel ini dapat dijadikan pijakan dalam memahami struktur karya tersebut.
B. Oposisi Biner dalam Aktivitas Strukturalisme
Konsep oposisi biner mula-mula diteorikan oleh Ferdinand de Saussure. Tetapi Claude Levi-Strausslah yang membuatnya menjadi sangat berpengaruh. Strauss adalah antropolog strukturalis yang banyak menggunakan teori-teori bahasa Saussure sebagai suatu sistem stuktural untuk menganalisis semua proses kultural seperti cara memasak, cara berpakaian, sistem kekeluargaan, mitos dan legenda dalam masyarakat. Bagi Strauss, oposisi biner adalah the essence of sense making: struktur yang mengatur sistem pemaknaan kita terhadap budaya dan dunia tempat kita hidup (Strauss, 1998:107).
Juliastuti mendefinisikan oposisi biner merupakan sebuah sistem yang membagi dunia dalam dua kategori yang berhubungan. Dalam struktur oposisi biner yang sempurna, segala sesuatu dimasukkan dalam kategori A maupun kategori B, dan dengan memakai pengkategorian itulah, kita mengatur pemahaman dunia luar kita. Suatu kategori A tidak dapat eksis dengan sendirinya tanpa berhubungan secara struktural dengan kategori B. Kategori A masuk akal hanya karena ia bukan kategori B. Tanpa kategori B, tidak akan ada ikatan dengan kategori A, dan tidak ada kategori A (http://kunci.or.id/esai/nws/04/biner.htm, diakses 12 Februari 2009).
Dipertegas oleh Hatees bahwa sumbangan terpenting strukturalisme bagi filsafat adalah penemuan bahwa makna sebuah kata (penanda) tidak diperoleh dari hubungan penanda itu dengan dengan apa yang ia tandakan, melainkan dari perbedaannya dengan kata (penanda) yang lain. Artinya kategori pemikiran manusia sebagian besar didasarkan pada oposisi biner (pasangan konsep yang saling berlawanan) (http://www.lampungpost.com/cetak/cetak.php?id, diakses 12 Februari 2009).
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, oposisi biner sebenarnya merupakan sebuah aktivitas strukturalisme. Dalam kajian strukturalisme oposisi biner merupakan salah satu karakter yang mewarnai metode kajian tersebut. Itulah sebabnya, dalam kajian ini struktur menjadi tumpuan utama untuk memahami terbentuknya sebuah karya sastra, baik berupa bahan, bentuk, dan isi karya tersebut. Kendati kajian tersebut tidak menggiring kita pada pemahaman makna karya, namun melalui kajian ini makna sebuah karya sastra juga akan tergambar.
Hal yang sama digambarkan Tyson (1999:120) bahwa kajian struktural tidak sekedar melihat ada-tidaknya bangunan struktur yang digunakan dalam sebuah karya sastra, akan tetapi melihat kesamaan dan perbedaan dalam struktur karya yang dikaji. Perbedaan inilah yang dikenal dengan istilah oposisi biner. Melalui cara kerja semacam itu akan tergambar “struktur luaran” dan “struktur dalaman” sebuah karya sastra.
Darma (2004:123-124) memberi gambaran yang lebih luas tentang aktivitas atau cara kerja strukturalisme, sebagai berikut: (a) strukturalisme pada awalnya mengamati lebih dari satu objek, dengan tujuan untuk mendedah apa yang ada di balik kesamaan struktur dalam dua objek atau lebih, (b) strukturalisme kemudian menyadari, pada dua objek atau lebih ternyata tidak hanya terdapat kesamaan atau kemiripan, namun ada juga ketidaksamaan dan bahkan kutub-kutub yang berlawanan, (c) lepas dari adanya kesamaan atau ketidaksamaan, teks sastra ternyata diikat oleh hukum simetri, sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh Northrop Frye dalam The Fearful Symmetry, hasil studinya mengenai sajak William Blake, (d) ketidaksamaan dan kutub-kutub yang berlawanan inilah yang kemudian memunculkan kesadaran akan adanya binary opposition (oposisi biner) dalam kehidupan: siang malam, kanan-kiri, bawah-atas, kuat-lemah, laki-laki-perempuan, dan lain-lain, (e) kesamaan, ketidaksamaan, dan oposisi biner ternyata tidak selamanya hadir dalam dua objek atau lebih, namun pada hakikatnya, hadir dalam satu objek, sebab dalam satu objek pun diikat oleh hukum simetri, (f) oposisi biner akan tampak manakala seseorang mendekonstruksi objek tersebut. Dekonstruksi, khususnya yang dilakukan Derrida, (g) untuk melihat struktur luaran, dengan insting strukturalis seseorang berusaha untuk mendedah “struktur dalaman” objeknya. Dalam mitologi dan sastra, struktur luaran dapat muncul dalam bentuk plot yang digerakkan oleh tindakan-tindakan tokoh dalam teks sastra, dan (h) untuk mendedah “struktur dalaman” melalui “struktur luaran”, Roland Barthes dalam S/Z, studi mengenai Sarrasine, menyarankan penggunaan analisis lexies (unit-unit makna) dan codes (istilah, menunjukkan konvensi yang menyebabkan maknanya dapat dikomunikasikan dan dimengerti.
Dengan demikian, dalam sistem biner hanya ada dua tanda atau kata yang hanya punya arti jika masing-masing beroposisi dengan yang lain. Keberadaan mereka ditentukan oleh keberadaan yang lain. Misalnya dalam sistem biner laki-laki dan perempuan, daratan dan lautan, atau antara anak-anak dan orang dewasa. Seseorang disebut laki-laki karena ia bukan perempuan, sesuatu itu disebut daratan karena ia bukan lautan, demikian seterusnya.
Secara struktur oposisi biner berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya, dan bisa ditransformasikan dalam sistem-sistem oposisi biner yang lain. Seperti maskulinitas>
Maskulinitas dan feminitas merupakan dua kategori yang saling beroposisi, dan antara keduanya bisa disejajarkan dengan kategori-kategori yang berjajar di bawahnya. Dalam sistem oposisi biner, maskulinitas dan feminitas sejajar dengan positif dan negatif, sejajar dengan terang dan gelap, sejajar dengan kultural dan natural, dan seterusnya.
Paparan tersebut menunjukkan bahwa oposisi biner merupakan produk budaya, ia bukan bersifat alamiah. Ia adalah produk dari sistem penandaan, dan berfungsi untuk menstrukturkan persepsi kita terhadap alam natural dan dunia sosial melalui penggolongan-penggolongan dan makna. Upaya klasifikasi ini dalam oposisi biner tidak harus didedah dengan menempuh jalan dekonstruksi sebagaimana digambarkan Derrida dan pemikir-pemikir lain seperti Budi Darma, tetapi dapat melewati bentuk rekonstruksi terhadap bangunan struktur yang ada. Dekonstruksi tidak selamanya menjadi jalan yang terbaik untuk menentukan oposisi biner dalam kajian struktural karya sastra. Konsep oposisi biner angin badai dan angin tenang misalnya, bisa disejajarkan dengan oposisi biner alam yang tidak bersahabat dan alam yang bersahabat. Hal itu merupakan proses transisi metafor dari sesuatu yang abstrak dalam sesuatu yang kongkret, dengan cara merekonstruksi tanda (abstrak): alam yang kejam dan alam yang tenang. Penanda terakhir ini tampak mengabaikan etika budaya dibandingkan dengan penanda abstrak sebelumnya.
Hal lain yang tampaknya lepas dari pemahaman kita adalah posisi ambigu dalam oposisi biner. Strauss dalam Juliastusi menyebutnya dengan anomalous category (http://kunci.or.id/esai/nws/04/biner.htm, diakses 12 Februari 2009). Oposisi biner menimbulkan posisi-posisi ambigu yang tidak bisa dimasukkan dalam kategori A maupun kategori B, yang biasa disebut “kategori ambigu” atau kategori “skandal”. Kategori ini muncul dan mengganngu sistem oposisi biner. Ia mengotori kejernihan batas-batas oposisi biner.
Antara anak-anak dan orang dewasa, ada posisi remaja. Antara daratan dan lautan, ada pantai. Antara laki-laki dan perempuan ada gay, lesbian, banci. Pantai, remaja, gay, lesbian, dan banci adalah kategori ambigu atau kategori skandal. Dalam pembahasan ini kategori-kategori tersebut sebenarnya akan lebih memperkaya pemahaman penulis tentang oposisi biner dalam karya sastra—khususnya novel Siddharta, karya Hermann Hesse.
C. Oposisi Biner dalam Plot dan Lakuan Tokoh
Plot dan tindakan tokoh tidak dapat dipisahkan. Plot yang memuat peristiwa-peristiwa cerita mendukung munculnya tindakan-tindakan tokoh. Setiap peristiwa diikuti dengan kemunculan tokoh dalam cerita. Tahapan peristiwa itu akan menggambarkan perilaku dan aksi tokoh.
Aminuddin (2002:87) menjelaskan, sehubungan dengan upaya memahami plot, dalam rangka membaca cerita, pembaca tentu saja harus berusaha dengan baik memahami komentar pengarang, lakuan atau action para pelaku, serta dialog dan monolog para pelaku itu sendiri. Kegiatan pemahaman itu, selain bersifat reseptif, juga harus asosiatif, yakni pembaca harus mampu membayangkan kira-kira sesuatu yang saya pahami ini termasuk dalam tahapan plot yang mana.
Dalam novel Siddharta tokoh-tokoh yang digambarkan pengarang terdiri atas Siddharta, Govinda, ayah (brahmin), para brahmin, Gotama (Sang Agung), Kamala, Vasudeva, Kamaswami, dan Sang Anak. Sebagai tokoh primer Siddharta selalu muncul dalam hampir keseluruhan cerita. Diikuti dengan tokoh-tokoh yang lain sebagai tokoh sekunder dan komplementer.
Kehadiran tokoh primer dalam keseluruhan tahapan peristiwa dalam cerita Siddharta, mewarnai kehidupan tokoh lain, sekaligus menciptakan tahapan-tahapan cerita secara kronologis. Peristiwa-peristiwa yang melibatkan tokoh dapat digambarkan sebagaimana di bawah ini.
1. Siddharta tertarik menjadi samana dan membuat rencana meninggalkan ayah dan ibunya.
2. Govinda—teman kecilnya, juga putra seorang brahmin--ingin mendampingi Siddharta sebagai teman, pendamping, pelayan, dan pembawa tongkat dalam bayangannya.
3. Siddharta mulai merasakan bahwa cinta ayah dan ibunya, cinta temannya Govinda, tidak akan membawanya menuju kebahagiaan, kesenangan dan kepuasan, serta keinginannya.
4. Siddharta mohon izin ayahnya—seorang brahmin—untuk menjadi pertapa dan seorang samana.
5. Ayahnya mengijinkan Siddharta meninggalkan dirinya.
6. Siddharta berangkat menuju hutan dan bertemu para samana. Perjalanan Siddharta juga disertai Govinda.
7. Siddharta dan Govinda bergabung dengan para samana. Dia memberikan jubahnya pada seorang brahmana miskin yang ditemui di jalan. Ia hanya memakai cawat, dan berpuasa.
8. Siddharta belajar menolak diri sendiri, belajar tenggelam dalam semadi sesuai ajaran baru dari para samana.
9. Terdengar kabar bahwa Sang Agung Gotama telah sampai di Taman Jeta. Siddharta dan Govinda tertarik bertemu dengannya.
10. Gotama mengajarkan penderitaan, sumber penderitaan, dan langkah-langkah menghadapi penderitaan.
11. Govinda bergabung dengan Sang Agung Gotama, Siddharta menolak bergabung dan meninggalkan mereka menuju hutan. Baginya, ia masih dalam proses pencarian.
12. Saat meninggalkan Sang Agung, Govinda, dan Taman Jeta, ia merenungkan dirinya. Ia sedang mencari atman, mencari Brahmin; dipaksa menghancurkan ego, mengupasnya lapis demi lapis, dalam upaya menemukan intinya yang belum diketahui, intisari di balik semua kulit ari, Atman hidup, kemuliaan sang akhir.
13. Dalam perjalanannya Siddharta bertemu juru sampan yang pada akhirnya diketahui namanya bernama Vasudeva. Melalui dia, Siddharta meminta diseberangkan melalui sungai.
14. Diujung kota Siddharta bertemu dengan wanita cantik seorang pelacur bernama Kamala. Darinya Siddharta belajar memahami cinta.
15. Di samping itu, Siddharta belajar berniaga pada seorang saudagar kaya bernama Kamaswami. Dia juga belajar berjudi bermain dadu. Darinya Siddharta kemudian menjadi orang kaya.
16. Siddharta betul-betul menjadi orang kaya dan meraih kesenangan melalui wanita cantik Kamala. Tanpa disadari Kamala hamil, mengandung anak Siddharta.
17. Dalam perenungan berikutnya, Siddharta menyadari bahwa semua itu hanya tipuan belaka. Bahwa segala sesuatu yang dimilikinya hanya sebuah permainan belaka.
18. Siddharta akhirnya meninggalkan semua harta kekayaannya dan wanita cantik Kamala.
19. Kembali ke tepi sungai dan bertemu Vasudeva. Ia belajar darinya tentang kehidupan melalui air sungai dan kehidupan di sekitarnya.
20. Selama menjalani kehidupan bersama vasudeva di sungai, ia bertemu Kamala bersama anaknya Siddharta muda.
21. Kamala meninggal karena digigit ular berbisa, dan Siddharta muda diserahkan padanya.
22. Selama mengasuh anaknya, Siddharta kesulitan. Anaknya tidak berperangai sebagai putera seorang Brahmin, ia lebih banyak menentang dan minta dimanja.
23. Anaknya lari meninggalkan dirinya, vasudeva meninggal, dan ia menjadi juru sampan sambil tetap belajar kehidupan dari air sungai.
24. Di masa tuanya, Siddharta kembali bertemu Govinda. Govinda mengaku belum menemukan sesuatu dalam pencariannya, dan mengakui Siddharta sebagai Sang Agung setelah mendengarkan gagasan-gasannya.
25. Siddharta telah menjadi Gotama.
Tahapan peristiwa yang tergambar di atas, merupakan lakuan tokoh dari awal pencarian sampai dirinya diakui sebagai Sang Agung Gotama. Terdeskripsi kehidupan tokoh sejak dari masa awal pencarian, memasuki masa samsara, sampai akhirnya mengalami kesempurnaan. Dalam setiap tahapan peristiwa ini sering digambarkan aksi dan perilaku tokoh yang berseberangan. Terdapat perilaku-perilaku paradoks yang melekat pada tokoh. Disinilah oposisi biner tampak dan menjadi penanda perilaku tokoh. Hal tersebut dapat dipahami melalui tabel di bawah ini.
Tabel Oposisi Biner dalam Plot dan Tindakan atau Lakuan Tokoh
NO LAKUAN TOKOH
DALAM PLOT OPOSISI LAKUAN TOKOH
DALAM PLOT
1. Siddharta meninggalkan istana, ayah, dan ibunya, dalam rangka belajar dan bertapa melakukan pencarian. Siddharta tidak mau bergabung dengan Sang Maha Agung Gotama yang sedang memberikan ajaran.
2. Govinda bergabung belajar kepada Sang Maha Agung Gotama. Siddharta meninggalkan mereka menuju ke tempat lain di kota.
3. Keinginan Siddharta belajar dan terus melakukan pencarian tentang hidup sejati. Siddharta belajar cinta pada wanita cantik pelacur bernama Kamala, dan belajar berniaga pada Kamaswami.
4. Govinda hidup dalam kesengsaraan bersama para samana. Siddharta hidup dengan kekayaan harta yang melimpah dan wanita cantik kesenangannya, serta bermain dadu kesukaannya.
5. Kamala takut kehilangan Siddharta, karena ia anggap sebagai lelaki perkasa dan penu wibawa. Siddharta meninggalkan Kamala dan seluruh kekayaannya.
6. Govinda belajar kehidupan pada Sang Maha Agung Gotama. Siddharta belajar kehidupan dari gemericik bunyi air sungai melalui tuntunan vasudeva.
7. Govinda melakukan pencarian dengan menggunakan pakaian sebagaimana samana. Siddharta melakukan pencarian dengan pakaian yang mewah; baju dan sepatu tampak mewah.
8. Kamala meninggal dan meninggalkan Siddharta selamanya, kemudian menyerahkan anaknya hasil hubungan gelap dengan Siddharta. Siddharta mengasuh anaknya atas pemberian Kamala.
9. Siddharta di waktu kecil memiliki perangai baik dan suka menghormati orang tua. Siddharta muda suka memerintah, minta dimanja, dan membantah perintah orang tua.
10. Siddharta merasa tidak bahagia mengasuh anaknya. Siddharta muda menginginkan kebahagiaan, kemudian meninggalkan orang tua atau Siddharta.
11. Govinda masih terus melakukan pencarian. Siddharta telah mencapai kesempurnaan.
Berdasarkan jendela oposisi di atas, lakuan tokoh menciptakan bentuk-bentuk paradoks yang menghasilkan konflik-konflik peristiwa. Perbedaan lakuan tokoh ini, baik perbedaan lakuan antartokoh, maupun perbedaan lakuan tokoh itu sendiri, merupakan bentuk yang saling berkaitan. Hal tersebut relevan dengan pandangan Juliastuti bahwa oposisi biner merupakan sebuah sistem yang membagi dunia dalam dua kategori yang berhubungan (http://kunci.or.id/esai/nws/04/biner.htm, diakses 12 Februari 2009). Hubungan kedua lakuan atau tindakan yang berbeda ini melahirkan makna-makna tertentu. Dapat diamati melalui lakuan berikut.
- Siddharta meninggalkan istana, ayah, dan ibunya, dalam rangka belajar dan bertapa melakukan pencarian.
- Siddharta tidak mau bergabung dengan Sang Maha Agung Gotama yang sedang memberikan ajaran.
Dua lakuan di atas menampakkan oposisi biner yang mengandung makna tertentu. Siddharta ingin mencapai kesempurnaan, namun tanpa guru Sang Maha Agung Gotama. Sebuah ketidaklaziman dalam realitas kehidupan sosial masyarakat. Guru seharusnya menjadi pedoman utama seseorang dalam lakuan kehidupan. Kini tanpa guru diyakini akan mampu mencapai kesejatian. Perhatikan kutipan berikut ini.
Ucap Siddharta, “Kemarin, oh Sang Agung, merupakan suatu berkah bagiku mendengar ajaran-ajaran yang luar biasa. Bersama-sama dengan temanku, aku datang dari jauh untuk mendengarkan ajaran tersebut. Dan sekarang sahabatku akan tinggal denganmu. Dia telah bergabung denganmu. Namun diriku ingin melanjutkan pencarianku.” (hlm. 56).
Kutipan di atas mengimplisitkan oposisi guru dan non guru. Hadirnya seorang guru sebagaimana hadirnya Sang Maha Agung Gotama menjadi sesuatu yang tidak penting dalam proses pencarian kesempurnaan manusia. Tanpa guru pencarian tersebut akan tetap bermakna bagi lakuan tokoh. Melalui oposisi ini, karakter tokoh semakin tampak dan lebih lugas. Karakter tokoh yang dinamis ini, membuat plot lebih luas dan signifikan dalam tahapan peristiwa.
Lakuan tokoh beroposisi dilanjutkan kepada ditinggalkkan dan meninggalkan. Govinda dan Sang Maha Agung Gotama ditinggalkan oleh Siddharta, dan Siddharta meninggalkan mereka. Walaupun sebenarnya kata ditinggalkan lebih melekat kepada tokoh Govinda, karena Sang Maha Agung Gotama baru bertemu dengan Siddharta. Govinda memang sejak awal telah sepakat bersama-sama Siddharta. Govinda mengikuti ajaran Sang Maha Agung dan memutuskan masuk sebagai anggota brahmin, tinggal bersama mereka, Siddharta berketetapan meninggalkan Govinda, dan kembali menjadi musafir keluar masuk hutan, yang akhirnya sampai di sebuah kota.
Lakuan tokoh Siddharta sesampai di kota kembali melahirkan bentuk oposisi pertentangan. Perjalanan dia keluar masuk hutan, bertapa, berpikir tentang ciptaan Tuhan, dilakukan dalam rangka mencari dan belajar kesejatian hidup, namun yang dilakukan tokoh adalah belajar cinta pada seorang Kamala wanita pelacur cantik dan belajar berniaga pada Kamaswami saudagar kaya di kota. Kata yang berperan memformulasi terbentuknya oposisi biner dalam hal ini adalah kata belajar.
Siddharta berkata, “Aku sudah mulai belajar darimu. Kemarin aku juga mmelajari sesuatu. Aku selalu mencukur habis jenggotku, dan merapikan dan meminyaki rambutku. Aku hanya kekurangan sedikit hal saja, wanita mulia, baju indah, sepatu bagus, dan uang di kantongku.Lihatlah kalau Siddharta telah menempuh hal-hal yang lebih sulit dibanding hal-hal tak berharga itu dan telah berhasil meraihnya. Bagaimana akau tidak berhasil meraih apa yang kurencanakan sendiri kemarin sebagai tujuan: untuk menjadi temanmu dan memelajari kebahagiaan cinta darimu! (hlm. 85).
Namun setiap hari, pada waktu Kamala mengundangnya, dia mengunjungi si cantik itu, dengan pakaian yang indah dan sepatu yang bagus, dan tak lama kemudian dia pun mulai membawa hadiah-hadiah untuk Kamala. Dia belajar banyak hal dari bibirnya yang merah dan cerdas. Dia banyak belajar dari tangannya yang gemulai dan lembut. Dia masih sangat mentah dalam masalah cinta dan cenderung menceburkan dirinya secara membabi buta dan tidak pernah puas ke dalam kesenangan seolah-olah terjun ke dalam lubang tak berdasar, tapi sejak awal Kamala menjelaskan padanya doktrin bahwa seseorang tidak akan dapat meraih kesenangan tanpa memberikannya, dan bahwa setiap gerakan, perhatian, sentuhan, lirikan, bagian tubuh terkecil memiliki rahasia tersendiri, yang akan membawa kebahagiaan bagi seseorang yang tahu bagaimana cara menariknya muncul ke permukaan (hlm. 101).
Belajar cinta bagi Siddharta bukan sekedar wejangan, nasihat, yang biasa dilakukan dalam bentuk tatap muka antara guru dengan murid, melainkan kata belajar melampaui semua ruang definisi dan batasan-batasan “dari tidak tahu menjadi tahu”. Kata belajar bagi lakuan tokoh Siddharta mempunyai batasan: mengetahui, memahami, mengaplikasikan, merasakan, dan memasuki ruang tanpa batas apapun. Melalui kata inilah Siddharta akhirnya memiliki buah hati hasil belajarnya pada Kamala.
Demikian pula belajar berniaga, ia memasuki seluruh wilayah perniagaan bersama Kamswami. Untuk mendapatkan cinta Kamala, Siddharta harus bekerja keras menghasilkan uang dan harta benda. Semua itu membawa Siddharta berwibawa, dan lebih dicintai Kamala. Pada Kamaswami, Siddharta belajar total keseluruhan untuk mendapatkan kepastian hasil dari ia belajar.
Saudagar itu mengajarkan padanya bagaimana cara menulis surat-surat penting dan kontrak dan segera terbiasa berkonsultasi dengannya mengenai semua permasalahan penting. Dia segera menyadari bahwa Siddharta hanya memahami sedikit tentang beras dan wol, perjalanan kapal dan kesepakatan bisnis, tetapi dia memiliki sentuhan keberuntungan, dan Siddharta mengungguli kemampuannya di bidang kesabaran dan ketenangan hatinya, dalam hal seni mendengar dan kemampuan melihat perasaan orang asing (hlm. 102).
Implikasi penggunaan kata belajar dalam lakuan yang berbeda telah menciptakan efek pertentangan dalam lakuan itu sendiri. Kata belajar yang semula hanya bermakna positif, dimanfaatkan untuk menjelaskan hal-hal yang bermartabat dan menempati derajat yang lebih tinggi, dalam lakuan ini kata belajar dimanfaatkan untuk menjelaskan lakuan-lakuan yang dipandang negatif, dan menempati derajat yang lebih rendah. Kata belajar, bergerak dari bermakna amelioratif ke makna peyoratif.
Namun dalam lakuan berikutnya, tokoh Siddharta mengembalikan kata belajar kepada lakuan yang positif. Ia meninggalkan semua harta dan kekayaannya serta wanita cantik Kamala yang selama ini dijadikan tempat dia belajar kehidupan cinta. Belajar ia kembangkan menjadi sesuatu yang agung dengan belajar pada kehidupan, pada alam, pada burung, pada angin, pada sungai, dan pada hutan. Hal tersebut tidak lazim bagi manusia pada umumnya. Jerih payah yang dia lakukan mengumpulkan harta benda, kekayaan, serta menarik simpati dari wanita canik seperti Kamala, dianggap di luar kewajaran dan bertentangan dengan kehidupan manusia normal lainnya. Di sinilah batasan kata belajar kembali dijungkir-balikkan demi mencapai efek makna yang lebih dalam tentang kehidupan yang sebenarnya. Bahwa belajar bisa memasuki semua sisi ruang dan waktu dalam kehidupan manusia. Belajar dapat bergerak ke ruang-ruang sempit, gang-gang kecil, di kamar mandi, di kamar tidur, di ruang-ruang mewah, di hotel, di tepi pantai, di tempat-tempat indah, di temapat-tempat kotor sekalipun. Sungguh belajar tidak mengenal batas!
Efek penggunaan kata belajar tanpa batas telah membersitkan penciptaan karakter tokoh yang dinamis dalam novel Siddharta. Tokoh ini bergerak di semua areal cerita dengan karakter yang sangat kompleks, dengan tindakan-tindakan di luar logika dan lakuan normal. Efek pertentangan yang ditorehkan dalam bentuk oposisi biner dalam cerita ini telah mempengaruhi keberadaan tokoh. Konflik tokoh tampil secara tajam dan mencengangkan. Deretan-deretan peristiwa yang ditampilkan pengarang dengan menggunakan bentuk-bentuk oposisi, menjadikan cerita dalam novel ini penuh dengan warna dan kualitas cerita yang membanggakan. Lebih-lebih ketika Siddharta memutuskan dirinya dari kehidupan gemerlap bersama harta dan wanita cantiknya, kemudian belajar kehidupan dari bisikan dan deru air sungai. Dituntun Vasudeva, berhasil mencapai kesempurnaan yang Maha Agung.
Dalam pencarian berikutnya, oposisi tampak pada cara berpakaian tokoh. Kelaziman mencari kesejatian, seorang tokoh seharusnya berpakaian sebagaimana dilakukan para samana, seperti Govinda. Namun Siddharta mengenakan pakaian hem yang mewah, bercelana, dan bersepatu mewah. Ketidaklayakan ini juga menjadi penentu munculnya efek oposisi biner dalam novel Siddharta.
Di tengah-tengah upayanya mencapai kesempurnaan, Siddharta mengalami kesulitan dan kesengsaraan dalam mengasuh anaknya hasil hubungan cintanya dengan Kamala. Perangai yang dimiliki Siddharta muda bertentangan dengan perangai Siddharta semasa kecil. Siddharta tua menyayangi ayah dan ibunya, selalu mengikuti nasihat-nasihatnya, bercita-cita sebagai brahman untuk mencapai kesempurnaan. Siddharta muda ingin selalu hidup dalam kemewahan duniawi, penuh manja, dan berani menentang orang tua.
Siddharta mulai menyadari bahwa tinggal bersama dengan anaknya, bukannya kebahagiaan dan kedamaian yang datang padanya, namun penderitaan dan masalah. Tetapi ia mencintai anak itu dan lebih memilih penderitaan dan masalah cinta dibanding kebahagiaan dan kegembiraan jika kehilangan anak itu (hlm. 174).
Datanglah harinya saat kemarahan Siddharta muda akhirnya meledak menjadi pertentangan terbuka dengan ayahnya. Ayahnya memberikan sebuah tugas padanya, dia memintanya untuk mengumpulkan ranting-ranting. Tetapi anak lelaki itu tidak beranjak dari pondok. Dia berdiri di sana, marah dan keras kepala, menggertakkan kakinya di lantai, mengepalkan tangannya dengan kebencian dan hinaan kasar yang keluar darinya dan diteriakkan di wajah ayahnya.
“Ambil sendiri rantingmu!” teriaknya, meludah dengan benci. “Aku bukan pelayan. Ya, memang benar kamu tidak memukulku—karena kamu tidak berani! Apa yang kamu lakukan adalah tetap mencoba merendahkan diri dan menghukumku dengan kesabaran dan kesalehanmu. Kamu ingin aku menjadi sepertimu, sama salehnya, sama lembutnya, sama bijaknya! Tapi dengar: Demi kesengsaraanmu, aku lebih baik menjadi seorang penjahat dan seorang pembunuh dan pergi ke neraka dibanding menjadi seperti dirimu! Kau bukan ayahku, bahkan walaupun kau adalah kekasih ibuku lebih dari sepuluh kali lipat!” (hlm. 182).
Oposisi biner dalam kutipan di atas dipertentangkan dengan watak dan karakter tokoh Siddharta sang ayah dari Siddharta muda. Penanda perbedaan karakter tokoh ini dapat diamati melalui lakuan Siddharta sang ayah: mencintai anak itu, lebih memilih penderitaan dibandingkan kebahagiaan jika kehilangan anak itu. Sedangkan penanda pada Siddharta muda dapat dikaji melalui ucapan tokoh: aku bukan pelayan, demi kesengsaraanmu lebih baik aku menjadi seorang penjahat dan pembunuh, lebih baik pergi ke neraka, kau bukan ayahku.
Pertentangan di atas, telah membawa tokoh Siddharta pada kehidupan samsara atau kesengsaraan. Lebih-lebih setelah anak yang betul-betul dicintainya itu menentang dan meninggalkan dirinya. Penderitaan yang luar biasa. Namun Siddharta telah mencari dan belajar pada kehidupan, terutama bisikan dan gemuruh air sungai. Akhirnya Govinda masih dalam pencarian, Siddharta telah mencapai kesempurnaan. Hidup ini benar-benar luar biasa!
D. Oposisi Biner dalam Gagasan Tokoh
Gagasan tokoh kadang-kadang merupakan refleksi dari gagasan pengarang. Akan tetapi tidak semua gagasan tokoh merupakan gagasan pengarang. Gagsan yang dituangkan ke dalam karya sastra tidak terlepas dari kehidupan manusia; kehidupan sosial, budaya, politik, hukum, agama, eksistensi diri, dan permasalahan-permasalahan lainnya. Problem tersebut melekat pada kehidupan tokoh, lakuan tokoh, dan kadang-kadang melahirkan gagasan tokoh.
Unger dalam Wellek dan Austin Warren (1995:141-142) mengklasifikasi permasalahan yang digarap sebagai berikut: Pertama, masalah nasib. Yang dimaksudkan di sini adalah hubungan antara kebebasan dan keterpaksaan, semangat manusia dan alam. Kedua, masalah keagamaan termasuk interpretasi tentang Kristus, sikap terhadap dosa dan keselamatan. Ketiga, masalah alam, perasaan terhadap alam, juga mitos dan ilmu gaib. Keempat, masalah manusia. Permasalahan ini menyangkut konsep manusia, hubungan manusia dengan kematian dan konsep cinta. Kelima, masalah masyarakat, keluarga, dan negara. Sikap seorang penulis dan tergambar pada sikap tokoh harus dipelajari dari jenis permasalahan ini.
Pendapat di atas cukup luas menggambarkan persoalan kehidupan yang digambarkan pengarang. Hal itu dapat diperas lagi menjadi (a) persoalan manusia, (b) persoalan alam, dan (c) persoalan hubungan manusia dengan alam. Persoalan yang terakhir ini berkaitan dengan bagaiman manusia memanfaatkan alam dan kehidupannnya, dan bagaimana alam dieksploitasi oleh manusia. Dari gambaran inilah akan tampak persamaan dan perbedaan sekaligus oposisi-oposisi yang menandai persoalan tersebut.
Oposisi biner yang menandai pemikiran kehidupan dalam pendapat Unger di atas adalah kebebasan dan keterpaksaan, semangat manusia dan alam, sikap terhadap dosa dan keselamatan, mitos dan ilmu gaib, hubungan manusia dengan kematian dan konsep cinta. Konsep pemikiran tersebut juga tergambar dalam gagasan tokoh novel Siddharta, sebagaimana tergambar dalam tabel di bawah ini.
Tabel Oposisi Biner dalam Gagasan Tokoh
NO GAGASAN TOKOH OPOSISI GAGASAN TOKOH
1. Kebijaksanan tidak dapat diungkapkan. Kebijaksanaan, saat seorang bijak mencoba mengungkapkannya, selalu terdengar bagaikan kebodohan.
2. Lawan dari setiap kebenaran juga sama benarnya. Sebuah kebenaran dapat diungkapkan dan diselubungi dengan kata-kata, jika dia hanya punya satu sisi, hanya separuh.
3. Kehidupan dunia Kehidupan dunia terbagi menjadi samsara dan nirwana, penipuan dan kebenaran, penderitaan dan kebebasan, kebaikan dan kejahatan.
4. Kehidupan adalah semuanya brahman atau kebaikan. Kehidupan dan kematian, dosa dan kesucian, kepandaian dan kebodohan, sebagai keharusan apa adanya.
5. Di kedalaman semedi terletak kemungkinan untuk melihat semua kehidupan. Kehidupan dapat berupa kehidupan di masa lalu, kehidupan sekarang, dan kehidupan di masa yang akan datang.
Oposisi biner dalam gagasan tokoh yang tergambar dalam tabel merupakan gagasan tokoh utama Siddharta. Hal tersebut diungkapkan ketika ia bertemu kembali dengan Govinda, teman lamanya yang sangat ia cintai. Siddharta mengungkapkan gagasan itu, ketika Govinda mencari kesejatian diri dan bertanya pada Siddharta. Jawaban itu ada pada gagasan Siddharta. Siddharta baginya adalah Yang Maha Agung yang mencapai kesempurnaan dengan berguru pada alam, bisikan dan gemuruh air sungai.
Lihat, Govinda, ini salah satu gagasan yang kutemukan: Kebijaksanaan tidak dapat diungkapkan. Kebijaksanaan saat seorang bijak mencoba mengungkapkannya, selalu terdengar bagaikan kebodohan (hlm. 207)
Ini dia: Lawan dari setiap kebenaran juga sama benarnya! Artinya, sebuah kebenaran dapat diungkapkan dan diselubungi dengan kata-kata jika dia hanya punya satu sisi. Segala sesuatu yang dapat dipikirkan dengan pikiran dan diungkapkan dengan kata-kata hanyalah memiliki satu sisi, hanya separuh. Semua pemikiran itu tidak memiliki keutuhan, kepenuhan, kesatuan. Saat Gotama Sang Suci mengajarkan dan mengatakan tentang dunia, dia harus membaginya menjadi samsara dan nirwana, penipuan dan kebenaran, penderitaan dan kebebasan. Tidak ada kemungkinan lain, tidak ada cara lain bagi mereka yang akan mengajarkannya. Namun dunia itu sendiri, keberadaan di sekitar kita dan di dalam diri kita, tidak pernah satu sisi. Tidak pernah seseorang atau sebuah tindakan seutuhnya samsara atau seutuhnya nirwana; tidak pernah seseorang seutuhnya suci atau seutuhnya berdosa. Itu hanyalah kelihatannya saja seperti itu karena kita berada di dalam cengkeraman yang saat itu nyata (hlm. 207-208).
Kutipan-kutipan di atas menggambarkan gagasan-gagasan tokoh tentang kebijaksanaan dan kebodohan, serta kehidupan. Namun dalam kutipan kedua ditemukan bentuk oposisi biner yang menyimpang yang disebut “skandal kategori” (Strauss dalam Juliastuti, http://kunci.or.id/esai/nws/04/biner.htm, diakses 12 Februari 2009). Hal tersebut menimbulkan ambiguitas pemahaman, seperti “Namun dunia itu sendiri, keberadaan di sekitar kita dan di dalam diri kita, tidak pernah satu sisi. Tidak pernah seseorang atau sebuah tindakan seutuhnya samsara atau seutuhnya nirwana; tidak pernah seseorang seutuhnya suci atau seutuhnya berdosa.
Dalam teori oposisi biner, yang tampak adalah komponen-komponen perbedaan secara utuh, tidak menimbulkan penafsiran ganda atau hasil pemahaman ganda. Ketika samsara (simbol neraka) tentu ada nirwana (simbol kebahagiaan). Ketika muncul tidak seutuhnya samsara dan tidak seutuhnya nirwana, pemahaman kita telah diselewengkan atau diselingkuhkan dengan makna-makna lain. Akibatnya, pembaca tidak memiliki pemahaman yang utuh tentang samsara dan nirwana.
Di dalam diri penjahat dan pemain dadu seorang Buddha sedang menunggu; di dalam diri brahmin, ada seorang penjahat. Di kediaman semedi terletak kemungkinan untuk memotong waktu, untuk melihat semua kehidupan masa lalu, sekarang, dan akan datang secara serempak, hingga di dalam hal itu segala sesuatunya adalah baik, semuanya sempurna, semuanya adalah brahman. Itulah sebabnya aku melihat segalanya adalah baik. Aku melihat bahwa kehidupan dan kematian, dosa dan kesucian, kepandaian dan kebodohan, sebagai keharusan apa adanya (hlm. 209-210).
Dalam kutipan di atas, gagasan tokoh betul-betul melompat jauh dari gagasan-gasan sebelumnya atau pendapat dari pemikir lainnya. Terdapat dekonstruksi gagasan dari gagasan yang lazim berkembang di masyarakat umum. Dalam kehidupan masyarakat normatif telah terbentuk dikotomi tentang indikator kejahatan dan kebaikan. Seseorang yang jahat akan tampak dari tindakan atau perilaku dalam kehidupannya, demikian pula seseorang yang diberi predikat baik. Perampok, pemerkosa, pembunuh, begal, dan yang sejenis merupakan indikator kejahatan dan pelakuknya disebut penjahat. Sedangkan orang yang selalu membantu orang lain, selalu beribadah, bertapa, dan belajar agama, mencari kesejatian hidup, merupakan indikator perilaku baik, pelakunya adalah orang yang baik—seperti seorang brahmin. Namun dalam kutipan di atas digambarkan bahwa di dalam diri brahmin, ada seorang penjahat. Pernyataan tersebut merupakan sebuah dekonstruksi pemikiran atau gagasan tokoh yang melahirkan oposisi biner antara gagasan lama tentang kejahatan dan kebaikan yang terpisah, dengan gagasan baru dari tokoh Siddharta tentang penggabungan kejahatan dan kebaikan yang akan muncul secara bersamaan pada diri manusia.
Siddharta melanjutkan, “Mungkin nirwana itu gagasan. Tapi aku harus mengaku padamu, Temanku, aku tidak melihat perbedaan yang besar antara gagasan dengan kata-kata. Sejujurnya, aku tidak memiliki pendapat atau juga ide yang hebat. Aku hanya memberi nilai lebih pada benda (hlm. 213).
“Itu juga bukan masalah besar bagiku,” ujar Siddharta. “Biarkan saja benda-benda sekadar penampakan bukan—karena andai begitu, aku juga sekedar penampakan, dan mereka tetap menjadi sahabat dan rekanku. Itulah yang membuat mereka begitu terkasih dan berharga untuk dipuja. Mereka rekan-rekanku. Itulah sebabnya mengapa aku dapat mencintai mereka. Dan di sini sekarang ada sebuah ajaran yang mungkin kamu anggap lucu: Cinta bagiku, Govinda, merupakan hal yang utama. Bolehlah kita menembus dunia, menjelaskannya, memandang rendah padanya, terlibat dalam langkah-langkah pemikir besar. Namun, satu-satunya hal yang penting bagiku adalah kemampuan mencintai dunia, tanpa memandang rendah padanya, tanpa membencinya atau diriku—mampu menghargainya serta diriku sendiri dan semua makhluk hidup dengan cinta, penghargaan, dan penghormatan (hlm. 214-215).
Kutipan di atas, mengisyaratkan peleburan diri terhadap kehidupan. Tidak melihat unsur-unsur kehidupan sebagai penghalang dalam menyatukan diri dengan Tuhan, melainkan sebagai media penyatuan. Oposisi biner dalam hal ini tampak dalam perbedaan gagasan yang berlaku secara umum dengan gagasan khusus yang disampaikan tokoh utama Siddharta dalam novel ini.
E. Oposisi Biner dalam Deskripsi Setting dan Lakuan Tokoh
Setting cerita dalam novel Siddharta kota, taman jeta, desa, hutan, sungai, sampan, cahaya matahari, siang, malam, senja, kesengsaraan, dan kebahagiaan. Setting tersebut diklasifikasi menjadi setting tempat, setting waktu, dan setting suasana. Menurut Aminuddin (2002:69) setting selalu memiliki hubungan dengan unsur-unsur signifikan lain dalam rangka membangun totalitas makna serta adanya kesatuan atau unity dari keseluruhan isi yang dipaparkan pengarang. Setting selalu memiliki hubungan dengan penokohan, perwatakan, suasana cerita atau atmosfer, alur atau plot maupun dalam rangka mewujudkan tema suatu cerita.
Setting dalam novel Siddharta dapat ditelusuri melalui lakuan tokoh. Kota tempat tinggal Siddharta dan Govinda, hutan tempat tujuan Siddharta dan Govinda sekaligus tempat tinggal para samana, kota domisili Kamala dan Kamiswami tempat belajar Siddharta tentang bercinta dan berniaga, hutan dan sungai tempat Siddharta mencari kesejatian pada vasudeva dan bisikan air sungai, termasuk pula tempat mengasuk anaknya. Setting yang lain dapat ditelusuri melalui aktivitas Siddharta belajar siang, malam dan senja, serta kebahagiaan dan kesengsaraan yang dialami ketika memasuki masa samsara dan kebahagiaan dalam kesempurnaannya.
Berdasarkan hal itu, oposisi biner yang tampak adalah kota dan desa, kota dan hutan, siang dan malam, dan kebahagiaan dan kesengsaraan. Penyimpangan oposisi biner dalam setting novel ini sebagai “skandal kategori” dapat dipahami melalui: di antara kota dan hutan terdapat sungai, di antara siang dan malam terdapat senja. Pemahaman pembaca menjadi ambigu setelah muncul skandal kategori di antara setting-setting tersebut. Namun hal ini merupakan kreatifitas pengarang dalam upaya menciptakan kedinamisan cerita melalui deskripsi setting berskandal.
F. Penutup
Novel Siddharta karya Hermann Hesse, sastrawan kelahiran Jerman 1877 dan meninggal pada tahun 1962, ini adalah sebuah novel religius yang berkisah tentang pencarian spritual seorang manusia dalam upaya menemukan kebahagiaan dan kesempurnaan. Tema gagasan pengarang ini dapat ditelusuri melalui aktivitas pendekatan struktural dengan memetakan oposisi biner dalam karya tersebut.
Oposisi biner dalam novel ini dapat dijelajahi melalui plot dan lakuan tokoh, gagasan-gagasan tokoh, dan setting cerita. Plot dan lakuan tokoh memuat oposisi antara lakuan tokoh utama Siddharta dengan Govinda, Sang Maha Agung, Kamala, Kamiswami, Vasudeva, dan Sang Anak. Malalui gagasan tokoh ditemukan oposisi di dalam gagasan tokoh Siddharta sendiri tentang kehidupan, manusia, dan alam. Demikian pula dalam latar, pemetaan oposisi biner tergambar dalam latar tempat, latar waktu, dan latar suasana. Implikasi bentuk-bentuk oposisi biner dalam novel ini, mampu menciptakan benang merah kaitan antara unsur pembentuk novel yang satu dengan yang lain.
Dalam novel ini ditemukan pula gagasan dekonstruksi. Dalam kehidupan masyarakat normatif telah terbentuk dikotomi tentang indikator kejahatan dan kebaikan. Seseorang yang jahat akan tampak dari tindakan atau perilaku dalam kehidupannya, demikian pula seseorang yang diberi predikat baik. Perampok, pemerkosa, pembunuh, begal, dan yang sejenis merupakan indikator kejahatan dan pelakuknya disebut penjahat. Sedangkan orang yang selalu membantu orang lain, selalu beribadah, bertapa, dan belajar agama, mencari kesejatian hidup, merupakan indikator perilaku baik, pelakunya adalah orang yang baik—seperti seorang brahmin. Namun dalam kutipan di atas digambarkan bahwa di dalam diri brahmin, ada seorang penjahat.
Temuan lain berupa skandal ketegori atau penyimpangan oposisi yang menyebabkan ambiguitas pemahaman pembaca. Skandal ini dapat ditelusuri melalui gagasan tokoh dan deskripsi setting. Dalam gagasan tokoh ditemukan gagasan tidak seutuhnya samsara dan tidak seutuhnya nirwana, menimbulkan kerancuan tentang keutuhan samsara dan keutuhan nirwana. Pada setting ditemukan skandal tempat seperti sungai di antara kota dan hutan, serta skandal waktu tentang senja di antara siang dan malam.
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin, 2002. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Malang: YA3 Malang.
Darma, Budi. 2004. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Hatees, Budi P. 2009. Retakan pada Diri Perempuan. http://www.lampungpost.com/cetak/cetak.php?id, diakses 12 Februari 2009.
Hesse, Hermann. 2000. Siddharta. Yogyakarta: Jejak.
Juliastuti, Nuraini. 2009. Oposisi Biner. http://kunci.or.id/esai/nws/04/biner.htm, diakses 12 Februari 2009.
Strauss, Claude Levi. 1998. The Structural Study of Myth. Dalam “Literary Theory: An Antology”, Edited by Julie Rivkin and Michael Ryan. Oxford: Blackwell.
Suradi. 2009. Buddha=Zulkifli. http://kalipaksi.com/2007/08/14/buddha-zulkifli , Diakses 11 Februari 2009.
Tyson, Lois. 1999. Critical Theory Today. New York: Garlad Publishing.
Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya-Girimukti Pasaka.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan. Terjemahan Melani Budianta. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Lampiran
Sinopsis Novel Siddharta Karya Hermann Hesse
SIDDHARTA
SIDDHARTHA berjalan jauh, menembus hutan, mengarungi sungai, mengembara ke desa dan kota-kota. Tapi ia tetap gelisah. Hatinya tak kunjung tentram.
Ia telah menanggalkan istana dan kebrahmanaannya, dalam usia belum genap 20. Meninggalkan ibu dan ayah yang sangat mencintainya. Ia bersalin rupa menjadi samana, bersama Govinda, teman yang mengasihinya lebih dari siapapun. Siddhartha membiarkan diri dibakar terik, cuma bercawat, bercambang dan gondrong, berpuasa, mematikan rasa. Tapi jawaban yang ia cari—tentang peran manusia dan dunia—selalu luput.
Dalam novel pendek Hermann Hesse berjudul “Siddharta” (1877-1962) yang terbit pada 1920 lalu dibuat versi filmnya pada 1972 ini, Siddhartha kemudian meninggalkan lakunya sebagai samana, setelah tiga tahun. Meninggalkan Govinda yang memilih menjadi murid Buddha Gotama. Siddhartha tidak. Dari orang suci itu pun anak tampan ini tak mendapatkan ketenangan dan jawaban yang memuaskan.
Ia pergi ke kota, bertemu Kamala dan Kamaswami. Kepada Kamala, pelacur yang sangat cantik dan cerdas itu, ia belajar main cinta. Kepada Kamaswami ia belajar berniaga. Siddhartha pun hidup praktis dengan kekayaan, dengan perempuan cantik yang kian lama kian jatuh hati kepadanya, dengan kekuasaan karena hartanya. Tapi Siddhartha tetap kecewa.
Ia pun kembali ke hutan. Bukan menemui Govinda, Buddha, atau kembali menjadi samana. Siddhartha menemui Vasudeva, tukang perahu udik yang dulu menyebrangkannya ketika akan ke kota. Ia terpesona oleh cara hidup Vasudeva yang sederhana tapi luhur budi. Bersama Vasudeva inilah, Siddhartha belajar kepada alam, membuka indra kepada lingkungan. Ia belajar bahasa sungai, karena dari ricik dan arus tenangnya, begitu katanya kepada Vasudeva, “Kita bisa mendengar pelbagai jenis suara, suara raja, orang hina, musafir…”
Tapi di desa inilah, Siddhartha payah sebagai ayah. Ia tak bisa mendidik anaknya ketika Kamala menyerahkan bayi mereka itu sebelum meninggal. Anak yang sama tampannya itu pun membangkang, menghancurkan perahu, dan kabur dari gubuk Siddhartha—bertolak belakang dengan apa yang ia lakukan dulu ketika meminta izin menjadi samana kepada ayahnya. Siddhartha pun terpukul dan sedih, dalam usia tua.
Saat ia tertidur di bawah pohon, Govinda menemuinya. Kedua teman masa kanak itu pun berangkulan. Siddhartha meminta Govinda mencium jidatnya. Saat itulah, Siddhartha berkata, “Sekarang aku tahu, Govinda, temanku… Kebijaksanaan tak bisa dikomunikasikan. Kebijaksanaan dan hidup hanya bisa diserap dengan bergumul bersamanya.” Inilah perkataan Siddhartha yang sangat terkenal dari novel ini, yang ditulis Hesse dengan liris dan terasa berusaha mengharukan.
Pertemuan itu menjadi simbol pertautan antara Siddhartha yang menemukan kesunyataan di luar ajaran, dengan Govinda yang hidup dalam ajaran. Saat mencium itu, Govinda melihat “ribuan wajah, timbulan tenggelam, hilang-nyata silih berganti… kerut wajah bayi yang masih merah, kerut wajah Siddhartha.” Pertemuan itu menjadi puncak dan simpul hidup Siddhartha. Selanjutnya, Siddhartha pun menjelma menjadi simbol Buddha, sebuah jalan spiritual yang diyakini oleh ratusan juta manusia di bumi ini.